Rabu, 08 April 2009

Sabtu, 28 Maret 2009

PB IPMIL RAYA Periode 2008-2010


Prolog.
Secara historis tanah luwu adalah sebuah lingkup hamparan area yang begitu lestari, sebuah taman yang bisa mensejahterahkan, menghidupi, memberi harapan semua komponen masyarakat manusia didalamnya, tempat dimana terjadi penyatuan manusia dan lingkunganya yang kemudian berevolusi diantara berbagai segmen-segmen sosial. “Wanua Mappatuo Naewai Alena”, merupakan sebuah ungkapan nilai yang memiliki kandungan historis, sosiologis, religius, demokratis, politis. Sebuah ungkapan ilustratif yang mengambarkan kondisi objektif lingkungan, masyarakat dan sistem ideal yang memayungi keduanya. Secara harfiah “Wanua Mappatuo Naewai Alena” dalah sebuah tempat yang memiliki anugerah kemelimpahan sumberdaya untuk mengsejaterahkan masyarakatnya.
Apabila aksara tradisional ini ditinjau dari sisi historis, sosiologis, religius, demoktatis dan politis, maka gambaran idel akan terlihat dalam segala sisinya. Ada kekuatan didalamnya, kemandirian, lingkup otoritas, dan mampu memberi jaminan perlindungan keamanan, ketentraman, kedamaian, kesejateraan, kemakmuran, kecukupan pada semua lapisan masyarakat secara proporsional yang berkeadilan.
Namun kondisi sekarang, seolah telah menutup mata dari kenyataan tersebut. “Wanua Mappatuo Naewai Alena” diartikan sebagai sebuah aksara yang “pasif”, hanya semata sebagai tempat yang dianugerahi kemelimpahan sumberdaya alam. Menafikan aspek kematangan sosiologis, melupakan semua nilai-nilai luhur didalamnya. Sehingga dalam perjalanan pembangunan sampai sekarang ini telah membekaskan ketertinggalan, ketidak berdayaan sumberdaya manusianya untuk tampil kompetitif pada skala yang lebih luas.
Untuk itu, dalam konteks organisasi kedaerahan, organisasi PB IPMIL RAYA sendiri, di dirikan sebagai alasan praktis untuk menyahuti berbagai persoalan mendasar generasi lokal. Sebuah kebutuhan akan perlunya sebuah agen kontrol, wadah kaderisasi untuk mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas, dan dapat berkonstribusi untuk daerah dan bangsanya.
Namun seiring dengan perjalanan waktu organisasi PB IPMIL-RAYA yang didirikan tahun 1958 telah mengalami pasang surut. Dinamika organisasi telah banyak terkontaminasi oleh berbagai farian-farian kepentingan politik praktis yang menyeret seluruh waktu dan energi keorganisasian. Pada sisi yang lain, kaderisasi sebagai sebuah cara dalam menciptakan sustenibilitas organisasi terhenti dikarenakan tingginya sikap indifidualisme dalam organisasi. Sulitnya aparatur organisasi memilih secara tegas antara target-target pragmatis dan tujuan-tujuan organisasi, semua bercampur baur dalam sebuah skenario aksidentil, pragmatis dan bertujuan jangka pendek.
Degradasi organisasi dalam mengarungi dinamika zaman membukakan pelajaran, ilham dan ide kepada para pengurus baru, Pengurus Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu-Raya (PB IPMIL-RAYA) priode ini (2008-2010) untuk mencermati penomena historis tersebut dan mencoba mencari berbagai solusi kongkrit untuk mewujudkan sebuah organisasi yang memiliki citra, rasa, kualitas, tanggung jawab dan propesionaliti dalam prosesnya. Sebuah organisasi yang mampu menentukan arah, laju dan bisa mencapai tujuan luhurnya tanpa menghilangkan potensi generasinya dimasa mendatang.
Tugas para Pengurus Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu-Raya (PB IPMIL-RAYA), adalah sebuah amanah sejarah, sebuah amanah suci, sebuah titipan yang luhur, sebuah keniscayaan bagi para pelakunya untuk menorehkan sebuah cerita yang bisa membekas sepanjang masa, seberkas tanggung jawab yang di dalamnya dititipkan harapan ribuan pelajar, mahasiswa, dan seluruh rakyat Indonesia.

Jumat, 20 Maret 2009

"Palestina, Ketika Rintik Hujan"

Palestina, Ketika Rintik Hujan

Rintik hujan terseok-seok menyeret kaki luka parah dari kota Tuhan
yang ditinggal para pemuja untuk berperang, "terlalu dinginkah dunia ini untuk disapa"?

lokan dan kepiting merangkak ke tenggorokan Jerussalem yang sepi.
bila malam datang, siapa berjanji esok fajar akan datang membawa sepotong Tuhan dari kematian.

Musa tersesat diburu Firaun, menyeret kafilah tuhan yang hilang, suaranya mengam,
"kenapa lelaki tua itu hanya menunggu di kornea mata anak-anak membeku mati?"

Debu hitam kota Gaza dan Kristal garam Laut Merah di kusut rambut ikalmu perlahan melayang keranting zaitun, menunggu tangan mungilmu melambai dari pintu surga.

Ah..., surga yang jauh....
aku tidak mau mendamba surga setelah mati,
aku akan menata taman mungil (surga) yang akan ku bawa mati

.::Ziarah Abadi

Selasa, 28 Oktober 2008

Gema Provinsi Luwu Raya


Sejarah panjang perjalanan, dan keinginan rakyat dan politik di Luwu membentuk satu provinsi tersendiri dan atau sejenisnya sudah bermula sejak puluhan tahun lalu.
Ketika masih hidup raja (Datu atau Pajung’e Ri Luwu), Andi Djemma’, beliau pernah menemui Presiden R.I, Ir Soekarno pada tahun 1958.
Beliau meminta kepada presiden R.I satu Pemerintahan Daerah Istimewa di Luwu. Alasannya karena raja dan rakyat Luwu, sepenuhnya mendukung proklamasi kemerdekaan R.I, tanggal 17 Agustus 1945 dan malah pada tanggal 18 Agustus 1945, beliau membentuk ‘Gerakan Sukarno Muda’ yang dipimpin langsung oleh beliau; selain itu, beliau memimpin rakyat Luwu tanggal 23 Januari 1946 melawan tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA di kota Palopo, karena kekuatan tidak seimbang, hingga beliua terpaksa meninggalkan istana bersama permaisyurinya, memimpin rakyatnya bergerilya didalam wilaya kerajaannya, hingga tertangkap oleh tentara NICA dan dibuang ke Ternate. Atas jaza beliau ini, beliau telah dianugrahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, dengan nomor 36.822 yang ditanda tangani Presiden Sukarno.
Permintaan dari beliau direstui oleh Presiden Sukarno, namun Daerah Istimewa dimaksud tidak pernah terwujud dalam kenyataan, sebagai mana diharapkan, karena saat itu di Luwu, sementara bergejolak pemberontakan DI/TII yang dipimpin lansung oleh Abdul Kahhar Mudzakkar, dan Datu Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Feberuari 1965 sebelum cita-citanya terwujud.

Selanjutnya pada tahun 1963 kembali Panitia Pembentukan Daerah Tingkat I Luwu terbentuk yang diketuai oleh Abdul Rachman Yahya BA, karena masih alasan keamanan didaerah Luwu usaha ini juga mengalami kegagalan disebabkan Penguasa Militer waktu itu Solihin GP selaku Pangdam Hasanuddin dan Gubernur Andi Aripai, melakukan politik adu domba diantara para bangsawan Luwu, sehingga Andi Attas dan Andi Bintang berpihak kepada Penguasa Militer. Maka pupuslah harapan untuk lahirnya Daerah Tingkat I Luwu. Para Panitia Perjuangan pembentukan provinsi Luwu ini, semua dikorbankan dengan dimutasikan keluar Tana Luwu, sampai ada yang dipindahkan ke Irian Jaya (sekarang Papua).

Kemudian pada tahun 1967, kembali Bupati Luwu yang dijabat oleh Andi Rompegading bersama dengan Ketua DPR-Gotong Royong Daerah Tingkat II Luwu Andi Pali, menggaungkan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Luwu, juga mengalami nasib sama; beliau diberhentikan menjadi Bupati, malah ditarik dari Palopo ke Makassar dan Andi Pali juga diturunkan dari jabatannya dan diganti oleh bangsawan lain yang pro kepada penguasa meliter. Jadi terjadi nasib sama, provinsi Luwu belum kunjung datang.

Pada tahun 1999, sejalan dengan arah pembaharuan era-reformasi Andi Kaso Pangerang memulai kembali, satu gerakan kearah pembentukan provinsi Luwu, beliau sendiri mengetua Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu ini, juga mendapat tatangan dari pihak panitia Pemekaran Kabupaten Luwu Utara, Perjuangan Provinsi Luwu menjadi korban dari semacam barter lahirnya Kabupaten Luwu Utara dengan terkuburnya usaha pembentukan Provinsi Luwu.
Tahun 2001 bangkit lagi satu panitia perjuangan Provinsi Luwu yang di pelopori oleh dua cendekiawan asal tanah Luwu: Prof Dr H. M. Iskandar, Prof Dr Mansyur Ramli dll, kembali terhambat dengan adanya pemekaran Kabupaten Luwu Timur dan Peningkatan Status Kota administratif Palopo menjadi Kota Madya. Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu kandas lagi untuk kembalinya, karena adanya komitment Andi Hasan Opu To Hatta dengan H.M.Amin Syam selaku ketua Golkar Provinsi yang kini menjadi (gubernur Sulsel) dengan adanya Pemekaran Kabupaten Luwu Timur.

Sejak bulan Pebruari 2004, satu panitia kordinasi yang diketua oleh RAKHMAD SUJONO SH, beliau terpilih untuk menjadi ketua Perjuangan Pembentukan Provinsi Luwu, yang kemudian disebut Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Luwu. Dalam perjuangan ini, Bakor (badan kordinasi) yang dipimpin beliau akan melakukan kordinasi dan mengambil inisiatif seperlunya untuk mendesak dua DPRD Luwu Utara dan Luwu Timur yang belum mau menandatangani rekomensi tanda persetuannya untuk membentuk provinsi Luwu.

Pada tahun 1999, berlaku Peraturan Pemerintah (PP 129 tahun 1999) mensyaratkan hanya 3 Kabupaten/kota saja dapat membentuk satu provinsi, tetapi dengan UU No.32 tahun 2005 yang berlaku sekaarang, telah mensyaratkan 5 kabupaten/kota.

Persoalan yang muncul kemudian dalam perjuangan ini, adalah tekanan Gubernur Sulsel H.M.Amin Syam yang tidak menyetujui Pembentukan Provinsi Luwu. Kepada seluruh Bupati/walikota se tana Luwu, sehingga diantara mereka tidak berani mengambil langka lebil jauh tentang Provinsi luwu. Terlebih lagi Ketua DPRD Luwu Utara dan Ketua DPRD Luwu Timur.

Persoalan lain adalah pro-kontra tentang masuk tidaknya Kab.Tana Toraja dalam bingkai Perjuangan Provinsi Luwu. Untuk menhadapi pro kontra ini Bupati Luwu Drs H. Basmin Mattayang mencanangkan Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah, yang terdiri dari Walenrang & Lamasi. Untuk mewujudkan hai itu, H. Basmin Mattayang memekarkan dari 2 kecamatan menjadi 6 kecamatan, diharapkan Kabupaten Luwu Tengah akan terbentuk paling lambat tahun 2010.

Perjuangan Provinsi Luwu menurut pihak panitia dimasa mendatang ditangan Andi Hasan Opu To Hatta, yang tampa menyadari perjalanan masa, atau dengan manuver politik masih menghendaki Daerah Istimewa Luwu. UU no 32 thn 2005 tidak mengatur tentang tata cara pembentukan Daerah Istimewa, Undang-Undang ini hanya mengatur pembentukan provinsi.

Pihak panitia mengajak para Wija to Luwu, menyadari dan turut bertisipasi untuk terwujudnya penbentukan provinsi Luwu, selaku masa depan Tanah Luwu. Wija to Luwu, marilah melakukan sesuatu utnuk tanah Luwu. Kalau kita tidak berbuat untuk hal tanah Luwu, siapa diharap akan melakukan untuk kita. Kalau kita belum wujudkan sekarang, kapan lagi akan terjadi.

Marilah kita satukan tekad dalam semboyang "mesa kada diputuwo, pantang kada dipumate. Toddopuli temmalara"

Sabtu, 25 Oktober 2008

Biografi Tana Luwu



Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

* Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
* Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

* Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
* Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
* Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

* Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
* Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
* Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
* Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
* Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Jemma" .

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo: Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

* Kewedanaan Palopo
* Kewedanaan Masamba dan
* Kewedanaan Malili.

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Pebruari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Pebruari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu: - Kec.Lamasi - Kec.Walenrang - Kec.Pembantu Telluwanua - Kec.Warautara - Kec.Wara - Kec.Pembantu Waraselatan - Kec.Bua - Kec.Pembantu Ponrang - Kec.Bupon - Kec.Bastem - Kec. Pemb. Latimojong - Kec.Bajo - Kec.Belopa - Kec.Suli - Kec.Larompong - Kec.Pembantu Larompongselatan

II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:

1. Kec. Sabbang
2. Kec. Pembantu Baebunta
3. Kec. Limbong
4. Kec. Pembantu Seko
5. Kec. Malangke
6. Kec. Malangkebarat
7. Kec. Masamba
8. Kec. Pembantu Mappedeceng
9. Kec. Pembantu Rampi
10. Kec. Sukamaju
11. Kec. Bone-bone
12. Kec. Pembantu Burau
13. Kec. Wotu
14. Kec. Pembantu Tomoni
15. Kec. Mangkutana
16. Kec. Pembantu Angkona
17. Kec. Malili
18. Kec. Nuha
19. Kec. Pembantu Towuti

III. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:

1. Kecamatan Bara
2. Kecamatan Cendana
3. Kematan Mungkajang
4. Kecamatan Telluwanua
5. Kecmatan Telluwarue
6. Kecamatan Wara
7. Kematan Wara Barat
8. Kecamaatan Wara Selatan
9. Kecamatan Wara Timur
10. Kecamatan Wara Utara

IV. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:

1. Angkona
2. Burau
3. Malili
4. Mangkutana
5. Nuha
6. Sorowako
7. Tomoni
8. Tomoni Utara
9. Towuti
10. Wotu

Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

* Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
* Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.